Pancasila, NU, dan Sarung yang Tak Pernah Lepas dari Republik

 



"Dari mimbar masjid hingga mimbar kenegaraan, Pancasila dan Nahdlatul Ulama terus bersinergi menjaga Indonesia tetap teduh dalam bingkai keberagaman."


Oleh: Kang Nisun, ketua LTN MWC NU Besuk


1 Juni selalu punya aroma khas. Bukan cuma karena awal bulan atau tanggal gajian (bagi yang beruntung), tapi karena kita kembali memperingati kelahiran “mahakarya” bernama Pancasila. Di tengah dunia yang makin gaduh oleh polarisasi digital dan kontestasi identitas, Pancasila tetap berdiri—anggun, tenang, kadang dilupakan, tapi tak tergantikan.


Tapi ada satu sahabat setia Pancasila yang sering tak disebut dalam narasi besar kenegaraan: Nahdlatul Ulama (NU). Organisasi Islam terbesar di Indonesia ini tak hanya menjaga warisan agama, tapi juga jadi pagar ideologi bangsa—dengan cara khasnya yang bersarung, teduh, dan bersahaja.


Menjaga Rumah Besar Bernama Indonesia

Dari sejak republik masih berupa cita-cita, NU sudah ikut meracik fondasi kebangsaan. KH Wahid Hasyim, kiai muda NU, adalah salah satu anggota BPUPKI yang mendukung lahirnya Pancasila sebagai perekat bangsa majemuk.


NU tidak memaksakan negara Islam, tapi juga tidak membiarkan Indonesia hanyut dalam sekularisme ekstrem. Mereka menawarkan jalan tengah: negara yang religius tapi tidak eksklusif, spiritual tapi tidak diskriminatif. Kalau di dunia kuliner, Pancasila versi NU itu seperti soto campur: isinya beragam, tapi tetap menyatu dalam kuah yang hangat.


Pancasila Bukan Sekadar Poster

Bagi NU, Pancasila bukan sekadar dokumen negara atau hafalan siswa tiap Senin pagi. Ia dijalani dalam kehidupan nyata. Di setiap acara tahlilan, haul, dan pengajian kampung, kita melihat nilai-nilai kebangsaan hidup dan bergerak. Gotong royong, keadilan sosial, toleransi antarwarga—semuanya berlangsung tanpa perlu dikhotbahkan secara formal.


Tak percaya? Datang saja ke pengajian rutin Fatayat atau Muslimat di pelosok desa. Di situ ada ibu-ibu yang bicara soal parenting, ekonomi keluarga, sekaligus membahas pentingnya merawat persaudaraan lintas iman. Mereka tak menyebut istilah “multikulturalisme” atau “intersubjektivitas”, tapi mereka mempraktikkannya setiap hari.


NU dan Pancasila di Tengah Gempuran Radikalisme

Dalam sepuluh tahun terakhir, ideologi-ideologi kaku dan eksklusif makin gencar masuk lewat pintu media sosial, kajian privat, bahkan algoritma video pendek. Tapi NU tak tinggal diam. Lewat Islam Nusantara, mereka membentangkan peta jalan Islam yang ramah, penuh welas asih, dan kompatibel dengan Pancasila.


Kita ingat ucapan Gus Dur: “Pancasila itu bukan hanya dasar negara, tapi cara beragama di Indonesia.” Kalimat ini bukan cuma puitis, tapi juga diagnosis sosial. Di Indonesia, agama dan kebangsaan harus bersanding, bukan bertarung.


Banom NU: Mereka yang Tak Ramai Tapi Ramai Kerja

Nahdlatul Ulama tak bekerja sendiri. Mereka punya barisan badan otonom (Banom) yang bergerak dari pelosok desa hingga ruang-ruang parlemen.


Banser, misalnya, sering diremehkan hanya karena tugas “jaga parkir”. Padahal di banyak daerah, merekalah barikade terakhir yang menolak ormas-ormas radikal masuk ke masjid dan sekolah.


Ansor dan Fatayat jadi corong muda NU yang masuk ke diskusi publik, mengisi ruang media sosial dengan narasi damai, kritis, dan nasionalis.


IPNU-IPPNU, para pelajar NU, tak tinggal diam di balik kitab kuning. Mereka mengisi TikTok, Instagram, bahkan Discord dengan konten kebangsaan dan edukasi anti-hoaks.


Muslimat NU, dari dapur hingga forum internasional, mengangkat isu perempuan, pendidikan, dan kemanusiaan—semua dalam kerangka nilai Pancasila.


Mereka tidak meminta panggung, tapi selalu ada di belakang layar: menenangkan, menjaga, mengayomi. Mereka adalah akar dari pohon besar bernama Indonesia.


Pancasila dan NU: Duet Abadi

Jika boleh meminjam analogi musik, Pancasila dan NU itu seperti “lagu lama yang enak didengar.” Mungkin bukan hits trending setiap minggu, tapi selalu relevan di setiap musim. Mereka mengajarkan bahwa menjadi Indonesia itu pilihan sadar, bukan takdir kebetulan.


Relevansi NU dan Pancasila tidak usang, justru makin diperlukan. Di tengah dunia yang makin cepat dan serba instan, keduanya mengajak kita untuk pelan-pelan: berpikir jernih, hidup bersahabat, dan tidak mudah terbakar provokasi.


Menjaga Pancasila, Menjaga Indonesia

Maka saat tagar #HariLahirPancasila berseliweran hari ini, mari kita ingat: di balik ideologi itu ada sejarah panjang, perdebatan sengit, dan pengorbanan besar. Dan ada NU—dengan sarung, sorban, dan spanduk sederhana—yang setia menjaga semangatnya.


Karena seperti kata pepatah santri, “Pancasila itu seperti udara: tak terlihat, tapi saat hilang, kita semua megap-megap.”


Dan mari kita lantangkan! 

Siapa Kita : NU

NKRI : Harga Mati

Pancasila :  Jaya



Catatan Redaksi: Tulisan ini adalah opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi. 


Posting Komentar

0 Komentar